Kamis, 17 Mei 2018

KONSERVASI ARSITEKTUR - BAB 4 USULAN PENANGANAN PELESTARIAN

4.             SOLUSI DESAIN
4.1      INDIKASI KONSEP DESAIN
Berdasarkan arahan RTBL maka pada pekerjaan Desain kawasan menteng ini akan melanjutkan beberapa hal penting dan memilih spot-spot kawasan dimana yang akan menjadi prioritas penanganan pada pembangunan tahap pertama, dan kemudian pembangunan pada tahap-tahap selanjutnya.
4.1.1  Konsep Desain Tata Guna Masa Bangunan
Skenario Konsep Desain Tata Masa Bangunan Berdasarkan Pemanfaatan dan pengembangan bangunan konservasi, diarahkan kepada pengembangan Wisata Budaya, Wisata Agro, yang berpedoman kepada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Fungsi Bangunan Konservasi di kawasan Menteng, yang terdiri dari :
1.      Masjid Cut Mutia
2.      Gedung Joang 45
3.      Mesum Pemusnahan Naskah Proklamasi
4.      Gereja St. Theresia
5.      Gereja GPIB Jemaat Paulus
4.1.2  Konsep Zonasi Kawasan
Zonasi dijabarkan ke dalam dua pemikiran kerangka besar , yaitu : Lingkungan Alam atau Zona Dinamis Dan Lingkungan Buatan atau Zona Statis. Zona Dinamis terdiri dari zona Penyangga dan zona pengembangan. Zona Statis terdiri dari zona inti
a.      Zona Inti
Zona Inti merupakan kawasan yang termasuk dalam zona statis. Dimana pada kawasan ini dan kawasan yang di preservasi kawasan cagar budaya. Pada kawasan ini diperlukan suatu tata lingkungan sebagai daya dukung kawasan inti.
b.      Zona Penyangga
Zona penyangga merupakan kawasan yang termasuk dalam zona Dinamis. Dimana pada kawasan ini merupakan kawasan untuk mencover kawasan inti. Kawasan ini perlu penataan bangunan dan lingkungan permukiman sebagai sirkulasi acces ke kawasan Setu Babakan
c.       Zona Pengembangan
Zona pengembangan merupakan kawasan yang akan dikembangkan sebagai kawasan yang dapat menampung kebutuhan dari sarana dan prasarana. Maka kawasan pengembangan ini perlu di perhatikan karena kawasan ini nantinya juga sebagai kawasan wisata bagi masyarakat yang memerlukannya.
4.1.3  Konsep Sirkulasi Kendaraan Dan Pedestrian
·         Areal zona inti solusi desain 1(Masjid Cut Mutia)
Merupakan pengembangan yang berada di lokasi sekitar Masjid  cocok untuk areal parkir dan pengembangan lokasi PKL dan fasilitas lainnya.Namun harus dikonfirmasi dahulu untuk dijadikan kawasan pengembangan dan Perlu penataan yang menyeluruh terhadap kawasan tersebut, meliputi perencanaan parkir dan areal PKL, service area seperti kantin, toilet umum, dan lain-lainnya. dan pedestrian harus dibuat dari bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.
·         Areal zona inti solusi desain 2 (Gedung Djoang 45)
Merupakan lokasi pengembangan yang berada di lahan kosong milik penduduk yang sekarang ini kondisi tak terawat. Pada lokasi ini baik direncanakan sarana dan prasarana  PKL, ruang terbuka/plaza,  areal parkir, area service, dan kios cendramata. Namun permasalahannya adalah lahan ini milik penduduk setempat, dan tidak di ketahui pemilik aslinya. Jalan, gang, dan pedestrian harus dibuat dari bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.
·         Areal zona inti solusi desain 3(Museum Peumusan Naskah Proklamasi)
Merupakan pengembangan yang berada di lokasi sekitar museum yang  cocok untuk areal parkir dan pengembangan lokasi PKL dan fasilitas lainnya.Namun harus dikonfirmasi dahulu untuk dijadikan kawasan pengembangan dan Perlu penataan yang menyeluruh terhadap kawasan tersebut, meliputi perencanaan parkir dan areal PKL, service area seperti kantin, toilet umum, dan took cendramata. dan pedestrian harus dibuat dari bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.
·         Areal zona inti solusi desain 4 (Gereja GPIB Jemaat Paulus)
Merupakan lokasi pengembangan yang berada disekitar Gereja yang cocok untuk daerah pengembangan Pada lokasi ini baik direncanakan sarana areal parkir, area service, dan kios cendramata, dan took buku rohani, dan pedestrian harus dibuat dari bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.
·         Areal zona inti solusi desain 5 (Dewan Harapan Nasional 45)
Merupakan lokasi pengembangan yang berada di sekitar bangunan, Pada lokasi ini baik direncanakan sarana dan prasarana  PKL, ruang terbuka/plaza,  areal parkir, area service, dan kios cendramata. Jalan, gang, dan pedestrian harus dibuat dari bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.

Sumber Referensi :
https://nuryuwandalinda.wordpress.com/2016/06/30/konservasi-arsitektur-kawasan-menteng/
http://albertus-konservasi-arsitektur.blogspot.co.id/2013/07/kawasan-menteng.html
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=77723

KONSERVASI ARSITEKTUR - BAB 3 GAMBARAN KAWASAN


3.             GAMBARAN KAWASAN
Keadaan eksisting bangunan tua di kawasan Menteng masih terjaga dan dirawat sampai saat ini, tidak ada bangunan yang dirubah wajahnya hanya dilakukan perbaikan saja seperti bentuk semula dan dilakukan pengecatan pada bagian bangunan yang usang. Bangunan kawasan Menteng yang masih terlihat jelas masa lalunya dan terawat diantaranya yaitu Masjid Cut Mutia, Gedung Joeang 45, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Gereja St. Theresia, dan Gereja GPIB Jemaat Paulus. Bangunan ini merupakan bangunan bersejarah dimasanya telah dibangun cukup lama dan masih terlihat seperti mulanya sehingga bangunan ini perlu dijaga dan dirawat.


3.1      Langgam
Bangunan-bangunan yang berdiri di kawasan Menteng dibangun pada masa penjajahan dan kolonialisasai Belanda dan merupakan kawasan yang dijadikan perumahan bagi pegawai kolonial Belanda sehingga bangunan di kawasan ini dirancang seelegan dan spesail dengan gaya yang terkenal di masanya yaitu gaya arsitektural klasik Indis atau Hindia Klasik atau disebut juga “Indo-Eropa” terdapat campuran budaya eropa dan indonesia.
Arsitektur bangunannya dapat disebut berkarakter fungsionalis tahun duapuluhan dengan variasi tropis art-deco dengan jejak-jejak neo-klasik peninggalan abad 19. Adaptasi arsitektur lokal sangat dipengaruhi oleh iklim tropis. Hal ini tercerminkan melalui kecenderungan penggunaan ventilasi alamiah dan menghindari cahaya matahari langsung. Karena hal ini maka dapat dipahami adanya rancangan ruang dengan langit-langit sangat tinggi, volume para-para atap yang besar, lubang-lubang ventilasi serta pintu dan jendela ganda. Material tradisional dan keterampilan lokal juga memberi bekas melalui bentuk atap miring, konstruksi kayu dan ubin semen berwarna. Ditambah dengan material bangunan yang didatangkan dari luar negeri, ini menjadikannya khas arsitektur Hindia-Belanda, atau arsitektur kolonial, atau juga indische architecture.
1.    Masjid Cut Mutia


Bangunan masjid ini tidak seperti disain masjid pada umumnya karena memang saat pertama dibangun fungsi bangunan ini yaitu untuk kantor pada masa pemerintahan Belanda sehingga tidak ada bentuk kubah dan tidak adanya kaligrafi juga motif-motif islam pada masjid ini. Memiliki gaya disain arsitektur klasik khas Belanda yang tidak terlalu menonjolkan ukiran-ukiran klasik yunani dapat dilihat dari tembok bangunannya yang tidak begitu ramai.
Bangunan ini sampai sekarang terlihat sama dari gaya arsitekturnya yang dipertahankan hanya terdapat beberapa tambahan karena fungsinya yang telah berubah dan bangunan dilakukan pengecatan ulang setiap beberapa tahun sekali.


Terdapat penambahan kanopi pada balkon dilantai atas untuk mencegah panas matahari dan tampias hujan. Penambahan material batu kali yang dicat hitam pada dinding bagian bawah bangunan untuk memunculkan kesan kokoh pada bangunan. Penggunaan kaca patri pada jendela yang sangat mmencirikan bangunan klasik di masanya juga terdapat penambahan coakan kayu pada bingkai jendela yang mencirikan bangunan islam.


2.    Gedung Joang 45

Merupakan bangunan museum yang fungsi mulanya pada saat pertama dibangun ialah hotel, yang dikelola oleh seorang berkebangsaan Belanda. Hotel tersebut saat itu termasuk yang cukup baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia, dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para tamu.

Bangunan ini bergaya klasik Belanda yang dicampur dengan budaya etnik Batavia, bisa dilihat dari penggunaan reiling dengan ornament, lisplang, juga penopang atap yang menempel pada tiang.

Pengunaan jendela kotak-kotak dengan teralis bunga didalamnya dan pintu kayu klasik yang tinggi dengan lubang-lubang ventilasi disisi daun pintunya.

Bentuk ornament melengkung yang merupakan unsur dari budaya Batavia terlihat pada tiang penopang atap. Penggunaan tiang tinggi kolom klasik yang merupakan symbol kekokohan dan kemegahan bangunan klasik.
3.    Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Gedung ini didirikan sekitar tahun 1920 dengan arsitektur Eropa (Art Deco), dengan luas tanah 3.914 meter persegi dan luas bangunan 1.138 meter persegi. Pada tahun 1931, pemiliknya atas nama PT Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah Perang Pasifik, gedung ini dipakai British Consul General sampai Jepang menduduki Indonesia.
Bangunan yang dulunya merupakan rumah kediaman laksamana Maeda ini terlihat besar dengan sedikit ornament klasik bahkan hampir tidak ada. Bangunan ini banyak menggunakan jendela tunggal panjang dengan pola kotak-kotak dengan kusen dicat kuning muda. Penggunaan bentuk atap trapezium untuk menambah kesan megah.

4.    Gereja St. Theresia


Pada tahun 1930 kota Jakarta (Batavia) diperluas dengan mengembangkan kawasan Menteng dan Gondangdia. Umat Katolik yang mendiami kedua kawasan tersebut harus berjalan kaki cukup jauh bila akan mengikuti misa di gereja Katedral. Pengurus Gereja Katedral lalu mencari lahan sampai akhirnya ditemukan sebidang tanah di Jl. Soendaweg (sekarang Jl. Gereja Theresia) untuk dibangun gereja.
Gereja Theresia mempunyai 3 pintu, diatas setiap pintu terdapat jendela besar. Jendela besar diatas pintu utama menggambarkan St.Theresia, sedang yang diataspintu samping menggambarkan St.Ignatius de Loyola (pendiri Serikat Jesus) dan St. Fransiscus Xaverius (pelindung Misi). Dibelakang altar pun terdapat jendela yang ukurannya lebih kecil dari jendela-jendela yang disebutkan diatas, jendela-jendela ini berjumlah 13 dimana yang ditengah menggambarkan Yesus dan kanan kirinya menggambarkan keduabelas Rasul.
5.    Gereja GPIB Jemaat Paulus


Bangunan gereja ini menggunakan material atap sirap dengan bentuk atap trapezium. Merupakan bangunan tua yang telah direnovasi seperti bangunan semula agar nilai historisnya tetap terjaga dan tidak hilang.
Sumber Referensi :
https://nuryuwandalinda.wordpress.com/2016/06/30/konservasi-arsitektur-kawasan-menteng/
http://albertus-konservasi-arsitektur.blogspot.co.id/2013/07/kawasan-menteng.html

KONSERVASI ARSITEKTUR - BAB 2 TELAAH PUSTAKA

2.             TELAAH PUSTAKA
Konservasi adalah pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yang dikenal dengan Burra Charter. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keaslian dan perawatannya, namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multidimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa depan bangsa. Masa kini dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya. Bentuk-bentuk dari kegiatan konservasi antara lain :
1.    Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan- tambahan atau merakit kembali komponen eksisting menggunakan material baru.
2.    Restorasi(dalamkonteks terbatas) ialah kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).
3.    Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.
4.    Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
5.    Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin(karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi,restorasi,rekonstruksi,konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.
6.    Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
7.    Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
8.    Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan bangunan tetap layak fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.
9.    Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).
10.  Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref. PP.36/2005). Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.
2.1        Definisi Wisata Budaya
Istilah pariwisata budaya memiliki beberapa definisi (Sofield dan Birtles, 1996) dan hal tersebut yang masih membingungkan (Hughes, 1996) dan istilah simtomatik Tribes (1997) serta pariwisata indisiplin. Menggunakan istilah etnik dianggap merupakan suatu masalah dalam konteks pariwisata. Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan secara umum tentang istilah etnik mengimplikasikan adanya kelompok minoritas dengan segala keterbatasannya terhadap yang lain penelusuran tentang primitifisme sehingga memunculkan keingintahuan tentang orang-orang primitif yang tak tersentuh (Mowforth dan Munt,1998:69). Sementara kebanyakan pariwisata kontemporer dibangun berdasarkan Quest for the Other the other tergolong pada pramodern, prakomodifikasi, dunia yang dibayangkan serta autentik secara sosial (Sewlyn, 1996:21). Pariwisata mentransformasi perbedaan pada masalah global pada konsumerisme suatu proses di mana otherness menjadi komoditas yang dikonsumsi. Hal ini merupakan rasisme institusional yang mempertontonkan keprimitifan (Munt dan Mowforth, 1998: 270) sebagai penderitaan dan kemiskinan merupakan sesuatu yang astetis bagi wisatawan, akumulasi image dari kemiskinan.
Hal-hal yang dilakukan oleh manusia didefinisikan sebagai komoditas seperti pariwisata diekspos pada perbedaan budaya dan variasi budaya lokal. Dikotomi antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya di mana pariwisata etnik dipergunakan untuk istilah primitive other dan pariwisata budaya diasosiasikan sebagai seni yang tinggi pada negara berkembangan (seperti yang dikatakan Richard, 1996), untuk menentukan ketidakseimbangan antara mereka yang miskin dan kaya. Semua masyarakat memiliki budaya; semakin jauh daerah tersebut dari wisatawan akan makin eksotis kelihatannya budaya itu. Sangat menarik untuk menanyakan mereka yang melihat suatu perbedaan apakah mereka akan menganggapnya pariwisata dalam Lapland, di Eropa seperti pariwisata etnim atau pariwisata budaya. Pertanyaan yang sama dapat dipertanyakan tentang kota pariwisata/township tourism termasuk kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah masyarakat Afrika yang miskin dan pada saat yang sama pemahaman tentang masyarakat kulit hitam kelas menengah yang tinggal di kota (Lihat Briedenhann dan Ramchanders) merupakan studi kasus tentunya tidak ada grup etnik tertentu yang dapat direpresentasikan sebagai istilah etnik. MacCannells (1984: 386) menganalisis pariwisata etnik bahwa kelompok-kelompok etnik yang dipariwisatakan sering melemah karena satu sejarah eksploitasi yang terbatas pada sumber-sumber dan kekuatan, dan tidak memiliki bangunan-bangunan yang besar, mesin, monumen ataupun keajaiban alam utnuk menarik perhatian wisatawan dari kehidupan mereka sehari-hari. Lebih jauh, struktur ekonomi pariwisata etnis sebagian uang yang ikut serta tidak mengubah daerah tersebut yang menghasilkan hanya sedikit keuntungan secara ekonomi bagi kelompok tersebut.Analisis yang diungkapkan oleh Cohen juga menekankan pada kurang berkembangnya sumber-sumber kelompok. Lebih jauh ia membuat beberapa poin- poin penting. Selanjutnya menyarankan bahwa untuk pembangunan pariwisata, beberapa penduduk harus dapat mengakumulasikan modal serta mengetahui selera wisatawan sehingga dapat meningkatkan pengeluaran wisatawan. Performance hospitality dan hasil kerajinan menjadi komoditas yang diorientasikan untuk wisatawan atau orang-orang luar. Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan motivasi wisatawan serta atraksi yang terdapat di daerah tujuan wisata maka kegiatan pariwisata dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pariwisata yang bersifat massal dan pariwisata minat khusus. Jika pada pariwisata jenis pertama lebih ditekankan aspek kesenangan (leisure) maka pada tipe kedua penekanannya adalah pada aspek pengalaman dan pengetahuan. Pariwisata Pusaka adalah salah satu bentuk pariwisata minat khusus yang menggabungkan berbagai jenis wisata (seperti wisata bahari, wisata alam, wisata trekking, wisata budaya, wisata ziarah dan sebagainya) ke dalam satu paket kegiatan yang bergantung pada sumber daya alam dan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah. Pariwisata Pusaka atau heritage tourism biasanya disebut juga dengan pariwisata pusaka budaya (cultural and heritage tourism atau cultural heritage tourism) atau lebih spesifik disebut dengan pariwisata pusaka budaya dan alam. Pusaka adalah segala sesuatu (baik yang bersifat materi maupun non materi) yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang ingin kita jaga keberadaan dan keberlangsungannya.
Dalam undang-undang negara kita,pusaka yang bersifat material disebut sebagai Benda Cagar Budaya. Pada pasal 1 UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya mendefinisikan Benda Cagar Budaya sebagai :
1.      Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang- kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
2.      Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.Jadi yang dimaksud dengan pusaka bisa berupa hasil kebudayaan manusia maupun alam beserta isinya. Beberapa lembaga telah mendefinisikan pariwisata pusaka dengan titik berat yang berbeda-beda. Organisasi Wisata Dunia (World Tourism Organization) mendefinisikan pariwisata pusaka sebagai kegiatan untuk menikmati sejarah, alam, peninggalan budaya manusia, kesenian, filosofi dan pranata dari wilayah lain. Badan Preservasi Sejarah Nasional Amerika (The National Trust for Historic Preservation) mengartikannya sebagai perjalanan untuk menikmati tempat-tempat,artefak-artefak dan aktifitas-aktifitas yang secara otentik mewakili cerita/sejarah orang-orang terdahulu maupun saat ini. Suatu negara bagian di Amerika, Texas (Texas Historical Commission) mengartikannya sebagai perjalanan yang diarahkan untuk menikmati peninggalan-peninggalan yang terdapat di suatu kota, daerah, provinsi atau negara. Kegiatan ini membuat wisatawan dapat mempelajari, dan dilingkupi oleh adat-istiadat lokal, tradisi, sejarah dan budaya. Berdasarkan berbagai definisi yang telah ada, maka dapatlah disimpulkan bahwa pariwisata pusaka adalah sebuah kegiatan wisata untuk menikmati berbagai adat istiadat lokal, benda-benda cagar budaya, dan alam beserta isinya di tempat asalnya yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman akan keanekaragaman budaya dan alam bagi pengunjungnya.
2.2        Persepsi Masyarakat
Pengertian Persepsi Masyarakat Seorang pakar organisasi bernama Robbins (2001:88) mengungkapkan bahwa Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Sejalan dari defenisi diatas, seorang ahli yang bernama Thoha (1998:23) , mengungkapkan bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan maupun pendengaran. Wirawan (1995:77), menjelaskan bahwa proses pandangan merupakan hasil hubungan antar manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap, intelegensi, dimana hasil atau penelitian terhadap apa yang diinderakan akan Mempengaruhi tingkah laku. Defenisi persepsi juga diartikan oleh Indrawijaya (2000:45), sebagai suatu penerimaan yang baik atau pengambilan inisiatif dari proses komunikasi. Lebih lanjut adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ralph Linton dalam Harsojo (1997:144) menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Masyarakat Robbins (2001:89) mengemukakan bahwasanya ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat yaitu :
1.      Pelaku persepsi, bila seseorang memandang suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya dan penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu
2.      Target atau objek, karakteristik-karakteristik dan target yang diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Target tidak dipandang dalam keadaan terisolasi, hubungan suatu target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi seperti kecendrungan kita untuk mengelompokkan benda-benda yang berdekatan atau yang mirip
3.      Situasi, dalam hal ini penting untuk melihat konteks objek atau peristiwa sebab unsur-unsur lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita.
2.3        Definisi Perancangan Kota
Definisi perancangan kota dan elemen-elemen rancang kota Rancang kota atau urban design merupakan bidang disiplin ilmu yang kompleks yang mencangkup banyak hal seperti disiplin ilmu arsitektur, lanskap, perencanaan perkotaan, teknik sipil dan transportasi, psikologi atau banyak hal lainnya. Rancang kota menyangkut manajemen suatu pembangunan fisik dari kota. Pembatasan dari pengertiannya ditekankan pada suatu bentuk fisik berupa tempat (place) yang merupakan suatu ruang olah manusia yang dianggap mempunyai makna. rancang kota menitik beratkan pada hubungan elemen fisik kota sebagai suatu bentuk jaringan yang tidak dapat berdiri sendiri. Sifat rancang kota mengarahkan, membatasi masyarakat sebagai pemakai ruang kota dengan memberikan ruang hidup yang lebih baik. elemen-elemen rancang kota didasarkan menurut Hamid Shirvani (1985) dalam Urban Design Proccess yang membagi elemen perancangan fisik perkotaan menjadi delapan kategori yaitu:
2.3.1  Peruntukan Lahan (Land Use)
Land use atau peruntukan lahan merupakan suatu bentuk penerapan rencana-rencana dasar dua dimensi ke dalam pembuatan ruang tiga demensi dan penyelenggaraan fungsi ruang tersebut. Peruntukan lahan mempertimbangkan tujuan dan prinsip yang akan dicapai pada guna tertentu seperti guna hunian, komersil, rekrasional, industri dan sebagainya. Mempertimbangkan kondisi daya dukung alam terhadap kapasitas kegiatan yang ditampung, kondisi ini juga berkaitan dengan pemakaian lantai dasar bangunan dan kofisien lantai bangunan. Keberadaan komunitas sekitar juga mempengaruhi pertimbangan tata guna lahan, dampak yang terjadi baik secara fisik maupun secara sosial. Pertimbangan penentuan peruntukan lahan tersebut sangatlah penting dan sensitif , karena menyangkut keberlangsungan daya dukung kehidupan pada suatu kota yang berhubungan baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan alam atau ekologi. Lost space menciptakan jurang pemisah sosial, pengelompokan pemukiman menjadi suatu kantong pemukiman atau enclave, menghilangkan keberlangsungan pejalan kaki, dan juga berkaitan dengan permasalahan sprawl. Dari kebijakan peruntukan lahan juga dapat menimbulkan permasalahan ‘pod development’ atau semacam pembangunan yang berdiri sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Ford (2000) bahwa di dalam pod development, setiap peruntukan seperti shopping mall, outlet siap saji, taman perkantoran, apartemen, hotel, kelompok-kelompok perumahan, dsb. Disusun sebagai elemen terpisah, dikelilingi oleh ruang parkir dan biasanya memiliki akses masuk sendiri dari jalan kolektor atau jalan distribusi utama. Idenya adalah memisahkan atau mendindingi peruntukan lahan pada lingkungan sosial dan fungsional yang tersendiri. Bentuk pod development juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan urban sprawl maupun terbentuknya ruang-ruang yang hilang atau lost space. Kebijakan peruntukan lahan yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalah seperti yang tersebut diatas, terutama kebijakan pemisahan peruntukan lahan yang berdiri sendiri. Pendekatan penyelesaian permasalahan tersebut dari elemen peruntukan lahan adalah perdekatan terhadap peruntukan lahan campuran atau yang disebut sebagai mixed use. Pada saat ini peruntukan lahan dua dimensi dijabarkan ke dalam ruang yang tidak terbatas pada peruntukan lantai dasar tetapi juga kepada peruntukan vertikalnya sehingga memunculkan suatu bentuk peruntukan campuran (mixed use). Peruntukan campuran merupakan penerapan yang menentukan hubungan antara fungsi-fungsi kegiatan yang saling mendukung pada suatu lokasi peruntukan. Kegiatan 24 jam dengan perbaikan sirkulasi melalui fasilitas-fasilitas pejalan kaki, penggunaan yang lebih baik dari sistem infrastruktur, analisis yang berdasarkan lingkungan hidup alami dan perbaikan-perbaikan infrastruktur mendukung fungsi peruntukan campuran. Kegiatan pada tingkat jalur pejalan kaki dalam peruntukan campuran memegang peranan penting, ia dapat menciptakan ruang yang lebih manusiawi, menyenangkan dan ramah lingkungan. Akan tetapi peruntukan campuran tidak akan berhasil pada tingkat konsentrasi kegiatan jalur pejalan kaki apabila tidak didukung oleh tata massa dan bangunan yang mendukung hal tersebut. Pola massa urban perimeter block atau pola bangunan yang menempatkan muka lantai dasar menempel dengan garis jalan lebih mendukung kegiatan jalur pejalan kaki dibanding pola free standing building atau bangunan tinggi yang berdiri di ruang terbuka.
2.3.2  Tata Massa dan Bentuk Bangunan (Building Form and Massing)
Bentuk dan tata massa bangunan pada awalnya menyangkut aspek-aspek bentuk fisik oleh rona spesifik atas ketinggian, pengaturan muka bangunan (setback) dan penutupan (coverage). Kemudian lebih luas menyangkut masalah penampilan dan konfigurasi bangunan. Disamping ketinggian dan kepejalan, penampilan (appearence) dipengaruhi oleh warna, material, tekstur dan fasade, style, skala, dsb. Spreiregen (1965) menyatakan isu-isu kritis yang berhubungan dengan bentuk bangunan dan massa. Pertama adalah ‘skala’, yang berhubungan aspek visual manusia (human vision), sirkulasi, bangunan pada lingkungan tempat tinggal dan ukuran lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya adalah ruang perkotaan sebagai sebuah elemen utama dari rancang kota dan pentingnya penekanan pada bentuk, skala dan rasa keterlingkupan (sense of enclosure) dan jenis-jenis dari ruang perkotaan.
Terakhir adalah urban mass atau massa perkotaan yang termasuk bangunan- bangunan, permukaan tanah, dan segala objek yang disusun untuk membentuk ruang perkotaan dan membentuk pola-pola kegiatan. Peruntukan lahan juga berperan dalam pengaturan tata massa dan bentuk bangunan seperti penerapan pada peruntukan campuran pusat kota yang diarahkan pada ketinggian yang lebih dari peruntukan lainnya. Peruntukan lahan komersil atau retail pada lantai dasar menjadi pertimbangan pengaturan pemunduran bangunan yang diletakan pada garis kavling atau zero setback untuk mendekatkan dengan kegiatan alur pejalan kaki. Peletakan tersebut dapat memberikan keuntungan pada kedua sisi, memudahkan pengenalan produk retail dan memudahkan pencapaian transaksi dari fungsi retail pada bangunan kepada pejalan kaki dan memberikan keberlangsungan pejalan kaki dalam pergerakan dan mampu menarik perhatian pejalan kaki untuk berbelanja pada fungsi tersebut.
Aspek visual disamping pengaturan pemunduran lantai bawah juga dicapai dengan pengaturan pemunduran lantai atasnya dimana arah pencahayaan alami menjadi aspek yang sangat penting dalam aspek visual tersebut. Kesan harmonis dan tidak monoton (diverse) dicapai dengan pengaturan muka bangunan (façade) dengan pewarnaan, tekstur, keseimbangan lebar muka bangunan terhadap lebar jalan, gaya (style), dan ketinggian. Ketegasan tepi bangunan dan vista koridor jalan juga dapat dibentuk dengan pengaturan massa bangunan, setback, ketinggian sehingga ruang jalan memberikan arahan dan kenyaman pengguna jalan.
Perbandingan yang dianggap ideal dari keterlingkupan ini adalah perbandingan antara jarak ke ketinggian bangunan 2:1. pada perbandingan ini sisi atas dinding bangunan masih terlihat pada sudut 27 derajat diatas bidang horizontal mata manusia. Tapi dari skala nilai perbandingan keterlingkupan ini yang harus diperhatikan adalah jarak maksimal yang masih dapat dirasakan. Karena walau nilai perbandingan dianggap ideal tetapi jarak horizontal antar bangunan sangat jauh, kesan humanis tetap akan hilang. Kemudahan pengenalan dengan penekanan pada landmark ruang kota tidak hanya dicapai dengan bentuk simbolis pada ruang terbuka umum seperti tugu, monumen, dsb. Tapi dapat diolah melalui konfigurasi penataan ini. Penekanan pengaturan pada simpul jalan (node) merupakan salah satu bentuk kemudahan pengenalan (legibility) tersebut. Keseluruhan konfigurasi dan penampilan tata massa dan bentuk bangunan juga dapat diarahkan pada tema daerah yang akan dicapai tercapai kualitas citra (image) district seperti pada tulisan Kevin Lynch dalam Image of the City. Pengaturan ini juga berhubungan dengan aspek cuaca (climate) yang berbeda-beda pada suatu tempat tertentu. Seperti pada kondisi iklim tropis.
Sumber Referensi :
https://nuryuwandalinda.wordpress.com/2016/06/30/konservasi-arsitektur-kawasan-menteng/
http://albertus-konservasi-arsitektur.blogspot.co.id/2013/07/kawasan-menteng.html

KONSERVASI ARSITEKTUR - BAB 1 PENDAHULUAN

Perkembangan suatu kota merupakan sebuah bentuk adaptasi masyarakat yang berangkat dari kultur history. Adalah konsekuen serius untuk kota agar dapat meregenerasikan semangat historis dengan mempertahankan karakter, skala, dan atribut lainnya yang mencerminkan keaslian kawasan tersebut. Keaslian suatu kawasan di dapat dengan mempertahankan kualitas visual pembentuk karakter visual kawasan. Kualitas visual pembentuk karakter visual mencakup kualitas estetika yang berkaitan dengan image visual yang ditonjolkan. Kualitas visual merupakan suatu atribut khusus yang ada pada suatu sistem visual yang ditentukan oleh nilai – nilai kultural. Dari kualitas visual inilah maka menimbulkan karakter visual suatu kawasan.
Perkenalan bangsa Indonesia dengan peradaban barat dalam seni bangunan, diawali dalam sejarah bangunan kolonialisasi Belanda. Karya seni bangunan selalu siap diaktualisasikan keberadaannya dimana makna yang berlaku di zaman kolonial Belanda mempunyai ukuran, bentuk, ciri-ciri khas yang mewakili masanya. Ruang yang terbentuk dengan hadirnya bangunan Indische Architecture memberikan konstribusi dalam pembentukan visual kawasan dan memperjelas keberadaan penampilan bangunan,  baik dari segi bentuk maupun perletakannya seperti desain bangunan-bangunan yang telah memberikan karakter khas bagi ciri fisik dan kualitas visual lingkungannya. Sebagai studi kasus adalah kawasan pemukiman Menteng Jakarta. Menteng, sebuah nama yang sejak dulu menyiratkan makna elite baik bagi penghuni di masa awal abad ke –20 ketika kawasan ini mulai dibangun, hingga sekarang pada awal abad ke – 21. Sejarah menunjukan bahwa pada perkembangannya. Kawasan Menteng lebih ditujukan untuk pemukiman. Bentuk arsitektur di kawasan ini memang cukup beragam, dan kaya akan improvisasi dari masa itu.Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengaruh dalam bentuk bangunan. Memang sudah sejak awal dibangun, kawasan in dapat dikatakan sebagai kota satelit pertama di Batavia. Sebuah kawasan pemukiman yang dirancang dengan standar ruang kota sangat baik. Lengkap dengan segala fasilitas umum yang tersebar di dalam maupun pinggiran kawasan ini.
Menteng merupakan kota taman tropis pertama di Indonesia, yang dirancang oleh arsitek Belanda PAJ MOOEJEN dan JF Kubatz (1913), Adolf Heuken dan Grace Pamungkas (2001). Tahun 2004, Kota Jakarta Pusat meraih penghargaan Bangun Praja Kategori Kota Terbersih dan Terindah di Indonesia.
Kota Jakarta sebenarnya identik dengan pohon, sunda kelapa (Cocos nucifera). Kemudian dikenal kawasan Cempaka Putih (Michelia alba) dan Karet (Ficus elastica) di Jakarta Pusat, Kemang (Mangifera caecea) di Jakarta Selatan, Kelapa Gading (Cocos capitata) dan Kapuk (Ceiba petandra) di Jakarta Utara, Kayu Putih (Eucalyptus alba), Kebon Pala (Myristica fragrans) di Jakarta Timur, dan Kosambi (Schleichera oleosa) di Jakarta Barat. Begitu pula dengan kawasan Menteng (Baccaurea recemosa dan Baccaurea dulciss Muell) dan Kebayoran atau Kebayuran (bayur = Pterospermum javanicum). Hingga kini eksistensi pohon telah menjadi identik dengan nama kawasan- kawasan itu. Namun ironisnya, penebangan pohon kota yang semena-mena memusnahkan pohon sebagai identitas karakter lanskap kawasan yang memakai nama-nama pohon tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Pasal 1 (1) disebutkan, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Kota taman tropis Menteng (87 tahun) dan Kebayoran Baru (57 tahun) dapat dikategorikan sebagai kawasan lanskap cagar budaya yang harus dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan secara hati-hati. Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta secara berurutan Nomor D.IV-6098/d/33/1975 untuk Menteng dan Nomor D.IV-6099/d/33/1975 untuk Kebayoran Baru telah menetapkan sebagai kawasan pemugaran. Hal itu diperkuat dalam Perda No 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010 yang juga menetapkan sebagian besar kawasan Menteng dan Kebayoran Baru sebagai kawasan perumahan/hunian serta didukung Perda No 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan Bangunan Benda Cagar Budaya.
Artinya, segala macam kegiatan preservasi, konservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, renovasi, dan atau revitalisasi, apalagi untuk kegiatan komersial di kawasan Menteng dan Kebayoran Baru, harus didahului kajian analisis mengenai dampak lingkungan dan sosial, serta studi kelayakan konservasi dan pengembangan kota yang mendalam dan independen.
Sumber Referensi :
https://nuryuwandalinda.wordpress.com/2016/06/30/konservasi-arsitektur-kawasan-menteng/
http://albertus-konservasi-arsitektur.blogspot.co.id/2013/07/kawasan-menteng.html